BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dari
tahun ketahun prevalensi penderita asma semakin meningkat. di indonesia,
penelitian pada anak sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner
isaac (international study on asthma and allergy in children) tahun 1995
menunjukkan, prevalensi asma masih 2,1%, dan meningkat tahun 2003 menjadi dua
kali lipat lebih yakni 5,2%. kenaikan prevalensi di inggris dan di australia mencapai
20-30%. National heart, lung and blood institute melaporkan bahwa asma diderita
oleh 20juta penduduk amerika. Asmater bukti menurunkan kualitas hidup penderitanya.
Journalof
allergy and clinical immunology tahun 2003 dinyatakan bahwa dari 3.207 kasus
yang diteliti, 44-51% mengalami batuk malam dalam sebulan terakhir. Bahkan
28,3% penderita mengaku terganggu tidurnya paling tidak sekali dalam
seminggu. Penderita yang mengaku
mengalami keterbatasan dalam berekreasi atau olahraga sebanyak 52,7%, aktivitas
sosial 38%, aktivitas fisik 44,1%, cara hidup 37,1%, pemilihan karier 37,9%,
dan pekerjaan rumah tangga 32,6%. Absen dari sekolah maupun pekerjaan dalam 12
bulan terakhir dialami oleh 36,5% anak dan 26,5% orang dewasa.selain itu, total
biaya pengobatan untuk asma di usa sekitar 10 milyar dollar per tahun dengan
pengeluaran terbesar untuk ruang emergensi dan perawatan di rumah sakit. Oleh
karena itu, terapi efektif untuk penderita asma berat sangat dibutuhkan.
Asma bronchial adalah suatu penyaklit dengan
cirri meningkatnya respon-respon tracea dan bronchus terhadap berbagai
rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan
derajatnya berubah-rubah secara spontan maupun sebagai pengobatan. ( soeparman
sarwono waspadji, 1998 ).
Asma bronchial adalah penyakit paru dengan
cirri khas yakni saluran nafas sangat mudah bereaksi dengan berbagai rangsangan
atau pencetusdengan manifestasi beerupa serangan asma ( ngatsiah, 1997 ).
Asma bronchial dalah sindroma obstruksi jalan
nafas yuang berulang ditandai dengan kontreksi otot polos bronchial, inflamasi
dan hipersekresi, mucus yang menyebabkan kurangnya aliran darah atau kesukaran
bernafas ( silvia a price lorraine m
wilson, 1994 ).
B.
Tujuan
1. Tujuan
umum
Setelah
mempelajari makalah ini mahasiswa
keperawatan upn “veteran” dapat mengetahui tentang penyakit asma dan asuhan
keperawatan terhadap klien dengan penyakit asma.
2. Tujuan
khusus
Mahasiswa
dapat mengetahui definisi penyakit asma, etiologi, tanda dan gejala,
patofisiologi, penatalaksanaan dan asuhan keperawatan asma.
C.
Rumusan
Masalah
1. Jelaskan
pengertian penyakit asma?
2. Jelaskan
klassifikasi asma?
3. Jelaskan
etiologi penyakit asma?
4. Jelaskan
patologi penyakit asma?
5. Jelaskan
manifestasiklinik penyakit asma?
6. Jelaskan
patofisiologi penyakit asma?
7. Sebutkan
stadium penyakit asma?
8. Jelaskan
komplikasi penyakit asma?
9. Bagaimana
Asuhan Keperawatan pada pasien asma?
BAB II
PEMBAHASAN ASMA
1.
PENGERTIAN
Asma Bronchial adalah suatu penyaklit dengan
cirri meningkatnya respon-respon tracea dan bronchus terhadap berbagai
rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan
derajatnya berubah-rubah secara spontan maupun sebagai pengobatan. ( Soeparman
Sarwono Waspadji, 1998 ).
Asma bronchial adalah penyakit paru dengan
cirri khas yakni saluran nafas sangat mudah bereaksi dengan berbagai
rtangsangan atau pencetusdengan manifestasi beerupa serangan asma ( Ngatsiah,
1997 ).
Asma Bronchial dalah sindroma obstruksi jalan
nafas yuang berulang ditandai dengan kontreksi otot polos bronchial, inflamasi
dan hipersekresi, mucus yang menyebabkan kurangnya aliran darah atau kesukaran
bernafas ( Silvia A Price Lorraine M
Wilson, 1994 ).
2.
KLASIFIKASI
/ STADIUM ASMA
a.
Stadium I
Waktu terjadinya edema dinding bronkus, batuk proksisimal, karena
iritasi dan batuk kering. Sputum yang kental dan mengumpul merupakan benda
asing yang merangsang batuk.
b.
Stadium II
Sekresi bronkus bertambah banyak dan batuk dengan dahak yang
jernih dan berbusa. Pada stadium ini anak akan mulai merasa sesak napas
berusaha bernapas lebih dalam. Ekspirasi memanjang dan terdengar bunyi mengi.
Tampak otot napas tambahan turut bekerja. Terdapat retraksi supra sternal, epigastrium dan mungkin
juga sela iga. Anak lebih senang duduk dan membungkuk, tangan menekan pada tepi
tempat tidur atau kursi. Anak tampak gelisah, pucat, sianosisi sekitar mulut,
toraks membungkuk ke depan dan lebih bulat serta bergerak lambat pada
pernapasan. Pada anak yang lebih kecil, cenderung terjadi pernapasan abdominal,
retraksi supra sternal dan interkostal.
c.
Stadium III
Obstruksi atau spasme bronkus lebih berat , aliran udara sangat
sedikit sehingga suara napas hampir tidak terdengar. Stadium ini sangat berbahaya karena sering disangka ada
perbaikan. Juga batuk seperti ditekan. Pernapasan dangkal, tidak teratur dan
frekuensi napas yang mendadak meninggi.
3.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala klinis asma klasik adalah serangan episodic akut,
batuk, mengi, dan sesak nafas. Awal serangan gejala tidak khas seperti rasa
beat di dada dan asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Pada mulanya
batuk tanpa disertai tanpa disertai secret tapi lama kelamaan akan mengeluarkan
secret baik mukoid, putih, kadang purulent. Pada asma alergik gejala tidak khas, apalagi
pasien memberikan gejala terhadap faktor pencetus non alegik seperti asap rokok,
asap yang merangsang, infeksi saluran nafas, ataupun perubahan cuaca. Jika asma
akibat pekerjaan, gejala memburuk pada awal minggu dan membaik akhir minggu.
Gejala mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan pekerjaan.
Pada pasien asma gejala bersifat paroksismal membaik pada siang hari dan
memburuk pada malam hari. Biasanya pada penderita yang sedang bebas
serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita
tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan,
serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik dari
asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ), batuk, dan pada
sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak
selalu dijumpai bersamaan. Selain gejala
diatas, ada beberapa gejala yang menyertai diantaranya :
tachypnea, orthopnea, gelisah, diaphorosis,
nyeri diabdomen karena terlibat otot abdomen dalam pernapasan, fatigue, tidak
toleran terhadap aktivitas : makan, berjalan, bahkan berbicara, serangan
biasanya bermula dengan batuk dan rasa sesak dalam dada, disertai pernafasan
lambat, ekspirasi selalu lebih susah dan panjang dibanding inspirasi, sianosis
sekunder, gerak-gerak retensi karbondioksida seperti : berkeringat, takikardia
dan pelebaran tekanan nadi, serangan dapat berlangsung dari 30 menit sampai
beberapa jam dan dapat hilang secara spontan.
4. ETIOLOGI
1)
Faktor
predisposisi
a.
Genetic
Diturunkan dalam keluarga dan berhubungan
dengan atopi. Dimana yang diturunkan adalah bakat
alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas.
Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga
menderita penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat
mudah terkena penyakit asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa
diturunkan.
2)
Faktor
lingkungan
Debu, serbuk sari dan bulu kucing. Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis,
yaitu :
· Inhalan, yang masuk melalui saluran
pernapasan seperti debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan
polusi.
· Ingestan, yang masuk melalui mulut seperti
makanan dan obat-obatan
· Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan
kulit seperti perhiasan, logam dan jam tangan
3)
Paparan pekerjaan
4)
Stimulus non spesifik: infeksi
virus, udara dingin, dan olahraga
5)
Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu
terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan dengan
musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk
bunga dan debu.
6)
Stress
Stress atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus
serangan asma, selain itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada.
Disamping gejala asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang
mengalami stress/gangguanemosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum bisa
diobati.
7)
Lingkungan kerja
Mempunyai
hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan asma. Hal ini berkaitan
dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan,
industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
8)
Olah
raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian
besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani
atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan asma.
Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktifitas tersebut.
5. PATOFISIOLOGI
a) Asma
alergik
Asma
ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronchioles yang menyebabkan
sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronchioles
terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi
diduga terjadi dengan cara sebagai berikut: seorang yang alergi mempunyai
kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody IgE abnormal dalam jumlah besar
dan antibody ini menyebabkan reaksi alergi bila bereaksi dengan antigen
spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru
yang berhubungan erat dengan bronchiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen maka antibody IgE orang tersebut meningkat, allergen bereaksi
dengan antibody yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat diantaranya histamine, zat anafilaksis yang
bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), factor kemotaktik eosinofilik dan
bradikinin. Efek gabungan dari semua factor-faktor ini akan menghasilkan edema
local pada dinding bronchiolus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam
lumen bronchiolus dan spasme otot polos bronchiolus sehingga menyebabkan
tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. Pada asma, diameter bronchiolus
lebih berkurang selama ekspirasi daripada selama inspirasi karena peningkatan
tekanan pada paru selama ekspirasi paksa menekan bagian luar bronchiolus.
Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagaian, maka sumbatan selanjutnya adalah
akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama
ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan
ekspirasi, hal ini menyebabkan dispnea.
Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi sangat
meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan udara ekspirasi
dari paru, hal ini menyebabkan barrel chest.
1.
Asma non alergik
Gangguan
system parasimpatis
Hipersensitifitas syarat kolinergik
Gangguan syaraf simpatis
Blokade reseptor adenergik β dan
Hipersensitifitas reseptor adrenergik α
Pengaruhi
keseimbangan kolinergik adenergik
Bronchus
cenderung menyempit
6. KOMPLIKASI
Berbagai
komplikasi yang mungkin timbul adalah:
· Status
asmatikus
· Bronchitis
kronis, bronkiolus
· Atelektasis: lobari segmental karena obstruksi brokus
oleh lender
· Hipoksemia
· Pneumotoraks
Kerja
pernapassan meningkat, kebutuhan O2 meningkat. Orang akan tidak sanggup
memenuhi kebutuhan O2 yang sangat tinggi yang dibutuhkan untuk bernapas melawan
spasme bronkhiolus, pembengkakan bronkhiolus dam mucus yang kental. Situasi ini
dapat menimbulkan pneumothoraks akibat besarnya tekanan untuk melakukan
ventilasi.
· Emfisema
· Kematian
7. PEMERIKSAAN
PENUNJANG
a)
Pemeriksaan radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal. Pada waktu
serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang
bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun.
Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai
berikut:
· Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan
bertambah.
· Bila terdapat komplikasi empisema (COPD),
maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
· Bila terdapat komplikasi, maka terdapat
gambaran infiltrate pada paru.
· Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis
lokal.
· Bila terjadi pneumonia mediastinum,
pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran
radiolusen pada paru-paru.
b)
Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor
alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada
asma.
c)
Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang
terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan
gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
· Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis
deviasi dan clock wise rotation.
· Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya
RBB (Right bundle branch block).
· Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia,SVES,
dan VES atau terjadinya depresi segmen ST negative.
d)
Scanning paru
Dengan scanning paru melalui
inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak
menyeluruh pada paru-paru.
e)
Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi
jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma
adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer
dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau
nebulizer) golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari
20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih
dari 20%. Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis
tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Banyak
penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.
8. PENATALAKSANAAN
MEDIS
Prinsip umum pengobatan asma bronchial adalah :
· Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan segara.
· Mengenal dan menghindari fakto-faktor yang
dapat mencetuskan serangan asma
· Memberikan penerangan kepada penderita
ataupun keluarganya mengenai penyakit asma, baik pengobatannya maupun tentang
perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti tujuan penngobatan yang
diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang merawatnnya.
· Pengobatan pada asma bronkhial terbagi 2,
yaitu:
1. Pengobatan non farmakologik:
· Memberikan penyuluhan
· Menghindari faktor pencetus
· Pemberian cairan
· Fisiotherapy
· Beri O2 bila perlu.
2.
Pengobatan farmakologik :
·
Bronkodilator
: obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi dalam 2 golongan:
1) Simpatomimetik/ andrenergik (Adrenalin dan efedrin)
Nama obat : Orsiprenalin (Alupent),
Fenoterol (berotec) dan Terbutalin (bricasma)
Obat-obat golongan simpatomimetik
tersedia dalam bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa
semprotan: MDI (Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang
dihirup (Ventolin Diskhaler dan Bricasma Turbuhaler) atau cairan broncodilator
(Alupent, Berotec, brivasma serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah
menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus) untuk selanjutnya
dihirup.
2) Santin (teofilin)
Nama obat : Aminofilin (Amicam
supp), Aminofilin (Euphilin Retard) danTeofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan simpatomimetik,
tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini dikombinasikan
efeknya saling memperkuat.
Cara pemakaian: Bentuk suntikan teofillin / aminofilin dipakai
pada serangan asma akut, dan disuntikan perlahan-lahan langsung ke pembuluh
darah. Karena sering
merangsang lambung bentuk tablet atau sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan.
sebabnya penderita yang mempunyai sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila
minum obat ini. Teofilin ada juga dalam bentuk supositoria yang cara
pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus. Supositoria ini digunakan jika penderita
karena sesuatu hal tidak dapat minum teofilin (misalnya muntah atau lambungnya
kering).
1) Kromalin
yang lain, dan efeknya baru terlihat setelah pemakaian satu bulan.
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat pencegah serangan asma.
Manfaatnya adalah untuk penderita asma alergi terutama anak-anak. Kromalin
biasanya diberikan bersama-sama obat anti asma
2) Ketolifen
Mempunyai efek pencegahan terhadap asma seperti kromalin. Biasanya
diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini adalah dapat diberika
secara oral.
Dari pendekatan lain, berdasarkan pathogenesis asma di atas,
strategi pengobatan asma ditujukan pada:
·
Mencegah ikatan allergen-IgE
·
Menghindari allergen
·
Hiposensitisasi, dengan
menyuntikkan dosis kecil allergen yang dosisnya makin ditingkatkan diharapkan
tubuh akan membentuk IgG (blocking antibody) yang akan mencegah ikatan allergen
dengan IgE pada sel mast. Efek hiposensitisasi pada orang dewasa saat ini masih
diragukan.
·
Mencegah penglepasan mediator
Premediksi
dengan natrium kromolin dapat mencegah spasme bronkus yang dicetuskan oleh
allergen. Natrium kromolin mekanisme kerjanya diduga mencegah penglepasan
mediator dari mastosit. Obat tersebut tidak dapat mengatasi spasme bronkus yang
telah terjadi, oleh karena itu hanya dipakai sebagai obat profilaktik pada
terapi pemeliharaan. Natrium kromolin paling efektif untuk asma anak yang
penyebabnya alergi, meskipun juga efektif pada sebagian pasien asma intrinsic
dan asma karena kegiatan jasmani. Obat golongan agonis beta 2 maupun teoflin
selain bersifat sebagai bronkodilator juga dapat mencegah penglepasan mediator.
·
Melebarkan saluran nafas dengan
bronkodilator
a.
Simpatomimetik
·
Agonis beta 2 (salbutamol,
terbutalin, fenoterol, prokaterol) merupakan obat-obat terpilih untuk mengatasi
serangan asma akut. Dapat
diberikan secara inhalasi melalui MDI (metere Dosed Inhaler) atau nebulizer
·
Epinefrin
diberikan subkutan sebagai pengganti agonis beta 2 pada serangan asma yang
berat. Dianjurkan hanya dipakai pada asma anak atau dewasa
muda.
·
Aminofilin
Dipakai
sewaktu serangan asma akut. Diberikan dosis awal, diikuti dengan dosis
pemeliharaan.
·
Kortikosteroid
Tidak termasuk obat golongan bronkodilator
tetapi secara tidak langsung, dapat melebarkan saluran nafas. Dipakai pada serangan asma akut atau terapi pemeliharaan.
·
Antikolinergik (ipatroprium
bromida)Terutama
dipakai sebagai suplemen bronkodilator agonis beta 2.
·
Mengurangi respon dengan jalan
meredam inflamasi saluran nafas
Banyak
peneliti telah membuktikan bahwa asma baik yang ringan maupun yang berat
menunjukkan inflamasi saluran nafas. Secara histopatologis ditemukan adanya
infiltrasi sel-sel radang serta mediator inflamasi di tempat tersebut.
Implikasi terapi proses inflamasi di atas adalah meredam inflamasi yang ada
baik dengan natrium kromolin, atau secara lebih poten dengan kortikosteroid
baik secara oral, parenteral, atau inhalasi seperti pada asma akut dan kronik.
PENGOBATAN ASMA MENURUT GINA (GLOBAL INITIATIVE FOR
ASTHMA)
Ada enam komponen dalam pengobatan asma menurut GINA:
a.
Penyuluhan kepada pasien
Karena pengobatan asma memerlukan
pengobatan jangka panjang, diperlukan kerjasama antara pasien, keluarga, serta
tenaga kesehatan.
b.
Penilaian derajat beratnya asma
Penilaian derajat beratnya asma
baik melalui pengukuran gejala, pemeriksaan uji faal paru, dan analisis gas
darah sangat diperlukan untuk menilai hasil pengobatan.
c.
Pencegahan
dan pengendalian faktor pencetus serangan
Diharapkan
dengan mencagah dan mengendalikan faktor pencetus serangan asma makin berkurang
atau derajat asma makin ringan.
d.
Perencanaan obat-obat jangka
panjang
1) Asma Episodik Jarang
Asma Episodik Jarang cukup diobati dengan obat pereda
berupa bronkodilator β-agonis hirupan kerja pendek (Short Acting β2-Agonist,
SABA) atau golongan santin kerja cepat bila perlu saja, yaitu jika ada
gejala/serangan.
Anjuran memakai hirupan tidak mudah dilakukan mengingat obat tersebut
mahal dan tidak selalu tersedia disemua
daerah. Di samping itu pemakaian obat hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry
Powder Inhaler) memerlukan teknik penggunaan yang benar (untuk anak besar), dan
membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada dan
mahal harganya. Bila obat hirupan tidak ada/tidak
dapat digunakan, maka β-agonis diberikan per oral.
Penggunaan teofilin sebagai bronkodilator
makin kurang perannya dalam tatalaksana asma karena batas keamanannya sempit.
Namun mengingat di Indonesia obat β-agonis oralpun tidak selalu ada maka dapat
digunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Di samping itu penggunaan β-agonis oral
tunggal dengan dosis besar seringkali menimbulkan efek samping berupa
palpitasi, dan hal ini dapat dikurangi dengan mengurangi dosisnya serta
dikombinasi dengan teofilin.
Konsensus Internasional III dan juga pedoman
Nasional Asma Anak seperti terlihat dalam klasifikasi asmanya tidak
menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma
ringan. Jadi
secara tegas PNAA tidak menganjurkan pemberian pemberian obat controller pada
Asma Episodik Jarang. Hal ini sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan
obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma
Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan
dosis rendah, atau kromoglikat hirupan. Dalam
alur tatalaksana jangka panjang terlihat
bahwa jika tatalaksana Asma Episodik Jarang sudah adekuat namun responsnya
tetap tidak baik dalam 4-6 minggu, maka tatalaksananya berpindah ke Asma
Episodik Sering.
Konig menemukan bukti bahwa dengan mengikuti
panduan tatalaksana yang lazim, yaitu hanya memberikan bronkodilator tanpa
anti-inflamasi pada Asma Episodik Jarang, ternyata dalam jangka panjang (+8
tahun) pada kelompok tersebut paling sedikit yang mengalami perbaikan derajat
asma. Di
lain pihak, Asma Episodik Sering yang mendapat kromoglikat, dan Asma Persisten
yang mendapat steroid hirupan, menunjukkan perbaikan derajat asma yang lebih
besar. Perbaikan yang dimaksud adalah menurunnya derajat asma, misalnya dari
Asma Persisten menjadi Asma Episodik Sering atau Asma Episodik Jarang, bahkan
sampai asmanya asimtomatik.
2) Asma Episodik Sering
Jika penggunaan β-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu
(tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisis), atau serangan sedang/berat
terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai
pengendali sudah terindikasi. pada awalnya, anti-inflamasi tahap pertama yang
digunakan adalah kromoglikat, dengan dosis minimum 10 mg 2-4 kali perhari. Obat
ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma sudah
terkendali, pemeberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari.
Penelitian terakhir, Tasche dkk, mendapatkan hasil bahwa pemberian kromolin
kurang bermanfaat pada terlaksana asma jangka panjang. Dengan dasar tersebut
PNAA revisi terakhir tidak mencantumkan kromolin (kromoglikat dan nedokromil)
sebagai tahap pertama melainkan steroid hirupan dosis rendah sebagai
anti-inflamasi .
Tahap pertama obat pengendali adalah pemberian steroid hirupan
dosis rendah yang biasanya cukup efektif. Obat steroid hirupan yang sudah
sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai
standar.
Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 ug/hari
budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun,
dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia
di atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis
100-200 ug/hari, atau setara flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan
adanya efek samping jangka panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi
kronik, obat pengendali berupa anti-inflamasi membutuhkan waktu untuk
menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakuakn
setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan
inflamasinya. Setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis
rendah tidak respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau
aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan
dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam tatalaksana
Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah
adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat
tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya
terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down).
Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan
penghindaran pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit
pengendalian asma seperti rintis dan sinusitis. Telah dibuktikan bahwa
penatalaksanaan rintis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki asma yang
terjadi secara bersamaan
3) Asma Persisten
Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke
rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis
rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya.
Dalam keadaaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan
untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5
hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang
masih optimal.
Dosis steroid hirupan yang masih dianggap aman adalah setara
budesonid 400 ug/hari. Di atas dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal,
sedangkan dengan dosis 800 ug/hari agaknya mulai berpengaruh terhadap poros HPA
(hipotalamus-hipotesis-adrenal) sehingga dapat berdampak terhadap pertumbuhan.
Efek samping steroid hirupan dapat dikurangi dengan penggunaan alat pemberi
jarak berupa perenggang (spacer) yang akan mengurangi deposisi di daerah
orofaringeal sehingga mengurangi absorbsi sistemik dan meningkatkan deposisi
obat di paru. Selain itu untuk mengurangi efek
samping steroid hirupan, bila sudah mampu pasien dianjurkan berkumur dan air
kumurannya dibuang setelah menghirup obat.
Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai
respons yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan
steroid yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti yaitu meningkatkan
steroid menjadi dosis medium atau terapi steroid hirupan dosis rendah ditambah
dengan LABA (Long Acting β-2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow
Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriene Receptor (ALTR). Yang dimaksud
dosis medium adalah setara dengan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari
flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid
(200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap
terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat
meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis
medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. Yang dimaksud dosis tinggi
adalah setara dengan >400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason)
untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300
ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan
keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan
memperbaiki kualitas hidupnya. Apabila dosis steroid hirupan sudah
mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak mempunyai respons, maka baru digunakan
steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller
(pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau
alternatif di atas telah dijalankan.
Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar
daripada bahaya efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis
awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis
terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara
sistemik harus berhati-hati karena mempunyai efek samping yang cukup berat.
Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan
enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi. Mengenai
pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi.
Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya
ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan
asma tipe rinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini
penggunaan kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak
lagi digunakan karena tidak mempunyai manfaat yang berarti.
Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang
optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid
dapat dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa
mengendalikan asmanya. Sementara
itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap
diteruskan.
e.
Merencanakan pengobatan asma akut
(serangan asma)
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak nafas,
batuk, mengi, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Derajat asma bervariasi dari yang paling
ringan sampai yang paling berat yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa
mendadak atau perlahan-lahan dalam jangka waktu berhari hari. Tujuan pengobatan serangan asma yaitu:
1)
Menghilangkan
obstruksi saluran nafas dengan segera
2)
Mengatasi hipoksemia
3)
Mengembalikan
fungsi paru ke arah normal secepat mungkin
4)
Mencegah terjadinya serangan
berikutnya
5)
Memberikan penyuluhan kepada
pasien dan keluarganya mengenai cara-cara mengatasi dan mencegah serangan asma
f.
Berobat secara teratur
Untuk memperoleh tujuan pangobatan
yang diinginkan, pasien asma pada umumnya memerlukan pengawasan yang teratur
dari tenaga kesehatan. Kunjungan yang teratur ini diperlukan untuk menilai
hasil pengobatan, cara pemakaian obat, cara menghindari faktor pencetus serta
penggunaan alat peak flow meter. Makin baik hasil pengobatan, kunjungan ini
makin jarang.
v Napas pendek
v Wheezing
v Retraksi
v Takipnea
v Batuk kering
v Ronkhi
e) Kardiovaskuler
v Takikardia
f)
Neurologis
v Kelelahan
v Ansietas
v Sulit tidur
g) Muskuloskeletal
v Intolerans aktifitas
h) Integumen
v Sianosis
v Pucatob
i)
Psikososial
v Tidak kooperatif selama perawatan
j)
Kaji status hidrasi
v Status membran mukosa
v Turgor kulit
v Output urine
DATA FOKUS
Data Subyektif
|
Data Obyektif
|
-
Klien mengatakan lemas
-
Klien mengatakan sesak
-
Klien mengatakan tidak nafsu makan
-
Klien mengatakan mual
|
-
Klien terlihat lemas
-
Klien terlihat pucat
-
Klien mengatakan sesak
-
Klien mengatakan tidak nafsu makan
-
Klien mengatakan mual
-
Makanan habis ¼ porsi
-
TTV
TD : 120/80 mm/Hg
RR :
28x / menit
N :
112 x / menit
S :
37 C
-
Pemeriksaan Lab
PCO2 : 47 mm/Hg
PO2 :
77 mm/Hg
|
ANALISA DATA
No
|
Data
|
Masalah
|
Etiologi
|
1.
2.
3.
|
DS :
-
Klien mengatakan lemas
-
Klien mengatakan sesak
DO :
-
Klien terlihat
lemas
-
Klien terlihat
pucat
-
TTV
TD : 120/80
mm/Hg
RR : 28x / menit
N : 112 x / menit
S : 37 C
-
Pemeriksaan Lab
PCO2 : 47 mm/Hg
PO2 :
77 mm/Hg
DS :
-
Klien mengeluh
sesak
-
Klien
mengatakan lemas
DO :
-
Klien terlihat
lemas
-
Klien terlihat
pucat
-
Terdengar suara
Mengi
-
TTV
TD : 120/80
mm/Hg
RR : 28x / menit
N : 112 x / menit
S : 37 C
-
Pemeriksaan Lab
PCO2 : 47 mm/Hg
PO2 :
77 mm/Hg
DS :
-
Klien
mengatakan tidak nafsu makan
-
Klien
mengatakan mual
-
Klien
mengatakan lemas
DO :
-
Klien terlihat
lemas
-
Klien terlihat
pucat
-
Berat badan
klien turun
-
Makanan habis ¼
porsi
-
TTV
TD : 120/80
mm/Hg
RR : 28x / menit
N : 112 x / menit
S : 37 C
-
Pemeriksaan Lab
PCO2 : 47 mm/Hg
PO2 :
77 mm/Hg
|
Bersihan Jalan
Nafas Tidak Efektif
Perubahan nutrisi kurang dari keburuhan
tubuh
|
Penumpukan
Sekret
Penyempitan Saluran Pernafasan
Produksi sekret
|
DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.
Bersihan
jalan nafas tidak efektif b.d produksi sputum/sekret berlebihan.
b.
Gangguan
pertukaran gas b.d gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi,
spasme bronkus).
c.
Perubahan
status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d produksi sekret
INTERVENSI KEPERAWATAN
a) Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d
produksi sputum/sekret berlebihan
Tujuan:
Mempertahankan
jalan nafas paten dengan bunyi bersih dan jelas.
Intervensi:
MANDIRI
1) Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi
nafas (mengi)
( Beberapa derajat
spasmevbronkus terjadi dengan obstuksi jalan nafas dan dapat dimenifestasikan
adanya nafas advertisius )
2) Kaji / pantau frekuensi pernafasa, catat
rasio inspirasi/ekspirasi
( Tachipnea biasanya
ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama
stress/ adanya proses infeksi akut )
3) Catat adanya derajat dyspnea, ansietas,
distress penafasan, penggunaan obat bantu.
( Disfungsi pernafasan adalah variabel
yang tergantung pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah
sakit. )
4) Tempatkan posisi yang nyaman pada pasien,
contoh : meninggikan kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur
( Peninggian kepala tempat tidur
memudahkan fungsi pernafasan dengan menggunakan gravitasi )
5) Pertahankan polusi lingkungan minimum,
contoh : debu, asap, dan lain-lain.
( Pencetus tipe alergi pernafasan dan memicu
episode akut. )
6) Tingkatkan masukan cairan sampai
3000 m/ hari sesuai toleransi jantung.Memberikan air hangat.
( Hidrasi membantu menurunkan
kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat dapat menurunkan kekentalan sekret,
penggunaan cairan hangat dapat menurunkan spasme bronkus. )
KOLABORASI
1)
Berikan
obat sesuai dengan indikasi bronkodilator.
( Merelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi dan
produksi mukosa. )
a.
Gangguan
pertukaran gas b.d gangguan suplai oksigen (obstruksi jalan nafas oleh sekresi,
spasme bronkus).
Tujuan
Perbaikan
ventilasi dan oksigen jaringan adekuat.
Intervensi
MANDIRI
1)
Kaji
atau awasi secara rutin kulit dan membran mukosa
( Sianosis mungkin perifer atau sentral
keabu-abuan dan sianosis sentral mengindikasikan beratnya hipoksemia )
2)
Awasi
tanda vital dan irama jantung
( Tachicardia, disritmia, dan perubahan
tekanan darah dapat menunjukkan efek hipoksemia sistemik pada fungsi jantung. )
KOLABORASI
1)
Berikan
oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
( Dapat memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia. )
b.
Perubahan
status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d anoreksia
Tujuan :
Menunjukan
peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat.
Intervensi:
MANDIRI
1.
kaji
kebiasaan dia, masukkan makanan saat ini. Catat drajat kerusakan makanan.
( pasien distess pernafasaan
akut sering anoreksia karena dipsnea )
2.
Sering
lakukan prawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai.
( Rasa tak enak, bau menurunkan nafsu
makan dan dapat menyebabkan mual/muntah dengan peningkatan kesulitan
nafas. )
KOLABORASI
1)
berikan O2 tambahan selama
makan sesuai indikasi.
( Dipsnea dan
meningkatkan )
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kemajuan lebih lanjut dalam perawatan asma akan memerlukan
pemahaman yang lebih baik tentang dasar molekuler dan genetik untuk
heterogenitas klinis terlihat pada gangguan ini. Hubungan antara peradangan
akut dan kronis serta hyperresponsiveness napas dan remodeling saluran napas masih
belum jelas. Penelitian di dihembuskan penanda peradangan non-invasif mungkin
akhirnya diterjemahkan ke dalam alat-alat praktis dan berguna secara klinis
pada titik perawatan. Ketersediaan alat tersebut akan mendorong manajemen yang
lebih tepat dari terapi anti-inflamasi. Pengembangan lebih lanjut dari
pharmacogenetics mungkin mengidentifikasi subset dari pasien yang istimewa
mungkin menanggapi satu kelas agen anti-inflamasi dibandingkan dengan orang
lain, sehingga menghilangkan beberapa trial and error yang sering terjadi dalam
manajemen normatif asma. Akhirnya, pendekatan pharmacotherapeutic khusus untuk
memblokir jalur yang unik menawarkan harapan untuk kemajuan baru yang besar
dalam 5 sampai 10 tahun ke depan
DAFTAR PUSTAKA
Arif, et all. 2000. Kapita
Selekta Kedokteran edisi 3 cetakan 1. Jakarta : EGC
Davey, Patrick .2005. At
a glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
Doenges, Marilym E. 1999. Rencana
Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta : EGC.
Pearce, Evelyn C. 2002. Anatomi
dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta
: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sedoyo, Aru N. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jil
1 ed 4. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddart vol 1. Jakarta : EGC
Tiada ulasan:
Catat Ulasan