BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
yang biasa dikenal sebagai PPOK merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan
keterbatasan aliran udara dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel
dan biasanya menimbulkan obstruksi. Gangguan yang bersifat progresif (cepat dan
berat) ini disebabkan karena terjadinya Radang kronik akibat pajanan
partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan
gejala utama sesak napas, batuk, dan produksi sputum dan keterbatasan
aktifitas.
PPOK merupakan suatu istilah yang
sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama
dan ditandai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi yang utama. Ada tiga penyakit yang membentuk satu
kesatuan yang dikenal sebagai PPOM tersebut yaitu brinkhitis kronis, emfisema
paru, dan asma bronkhiale.(American Thoracic Society, 1962)
B. Tujuan
Makalah ini
bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada mahasiswa keperawatan dalam
menganalisa suatu penyakit PPOK(penyakit paru obstruktif kronik) merupakan
suatu komplikasi penyakit seperti asma, emphiema, dan bronkus kronik. Dn
nantinya pada saat terjun di lapangan, parawat tidak ragu untuk melakukan
tindakan keperawatan dalam penyakit ini.
C. Sistematika
Penulisan
a)
BAB
I Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan, dan sistematika.
b)
BAB
II Judul berisi Definisi PPOK, etiologi PPOK, patofifiologi PPOK, manifestasi
klinik PPOK, klasifikasi PPOK, penatalaksanaan medis PPOK, komplikasi PPOK,
Asuhan keperawatan PPOK.
c)
BAB
III Penutup berisi kesimpulan
BAB II
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
yang biasa dikenal sebagai PPOK merupakan penyakit kronik yang ditandai dengan
keterbatasan aliran udara dalam saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel
dan biasanya menimbulkan obstruksi. Gangguan yang bersifat progresif (cepat dan
berat) ini disebabkan karena terjadinya Radang kronik akibat pajanan
partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan
gejala utama sesak napas, batuk, dan produksi sputum dan keterbatasan
aktifitas.
B. Etiologi
1. Asap rokok
Perokok aktif
memiliki prevalensi lebih tinggi untuk mengalami gejala respiratorik,
abnormalitas fungsi paru, dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada orang yang
tidak merokok. Resiko untuk menderita COPD bergantung pada “dosis merokok”nya,
seperti umur orang tersebut mulai merokok, jumlah rokok yang dihisap per hari
dan berapa lama orang tersebut merokok.Enviromental tobacco smoke (ETS) atau
perokok pasif juga dapat mengalami gejala-gejala respiratorik dan COPD
dikarenakan oleh partikel-partikel iritatif tersebut terinhalasi sehingga
mengakibatkan paru-paru “terbakar”.Merokok selama masa kehamilan juga dapat
mewariskan faktor resiko kepada janin, mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan paru-paru dan perkembangan janin dalam kandungan, bahkan mungkin
juga dapat mengganggu sistem imun dari janin tersebut.
2. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritan,
gas beracun)
3. Indoor Air Pollution atau polusi di dalam
ruangan
Hampir 3 milyar orang
di seluruh dunia menggunakan batubara, arang, kayu bakar ataupun bahan bakar
biomass lainnya sebagai penghasil energi untuk memasak, pemanas dan untuk
kebutuhan rumah tangga lainnya. Sehingga IAP memiliki tanggung jawab besar jika
dibandingkan dengan polusi di luar ruangan seperti gas buang kendaraan
bermotor. IAP diperkirakan membunuh 2 juta wanita dan anak-anak setiap
tahunnya.
4. Polusi di luar ruangan, seperti gas buang
kendaraan bermotor dan debu jalanan.
5. Infeksi saluran nafas berulang
6. Jenis kelamin
Dahulu, COPD lebih
sering dijumpai pada laki-laki dibanding wanita. Karena dahulu, lebih banyak
perokok laki-laki dibanding wanita. Tapi dewasa ini prevalensi pada laki-laki
dan wanita seimbang. Hal ini dikarenakan oleh perubahan pola dari merokok itu
sendiri. Beberapa penelitian mengatakan bahwa perokok wanita lebih rentan untuk
terkena COPD dibandingkan perokok pria.
7. Status sosio ekonomi dan status nutrisi
8. Asma
9. Usia
C. Patofisiologi
Faktor resiko utama
dari COPD ini adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok ini merangsang
perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia. Selain itu,
silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta
metaplasia. Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia
ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus
kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi
sangat purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema dan pembengkakan
jaringan. Ventilasi, terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat
dari ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan
adanya peradangan.
Komponen-komponen
asap rokok tersebut juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.
Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak struktur-struktur
penunjang di paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya
alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada
ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru
secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil
pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps. Ada
beberapa karakteristik inflamasi yang terjadi pada pasien COPD, yakni :
peningkatan jumlah neutrofil (didalam lumen saluran nafas), makrofag (lumen
saluran nafas, dinding saluran nafas, dan parenkim), limfosit CD 8+ (dinding
saluran nafas dan parenkim). Yang mana hal ini dapat dibedakan dengan inflamasi
yang terjadi pada penderita asma.
D. Manifestasi Klinik
Gejala-gejala umum PPOK yaitu:
Denyut jantung abnormal
Sesak
napas
Henti
nafas atau nafas tidak teratur dalam aktivitas sehari-hari.
Kulit,
bibir atau kku menjadi biru.
Batuk
menahun, atau disebut juga 'batuk perokok' (smoker cough)
Batuk
berdahak (batuk produktif)
PPOK ringan
seringkali tidak menimbulkan gejala atau keluhan apapun.PPOK disebabkan oleh 2
jenis penyakit yaitu Bronkitis Kronik dan Emfisema. Kedua penyakit ini dapat
terjadi bersamaan atau hanya salah satu saja. Gejala dan tanda PPOK sangat
bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada
pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan tanda
inflasi paru.
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan
atau tanpa gejala pernapasan
Riwayat
terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat
penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat
faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR),
infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk
berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak
dengan atau tanpa bunyi mengi (ngik-ngik)
Gambar 1. Alveolus
sehat
E. Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat:
1. Derajat I: COPD ringan
Dengan atau tanpa gejala klinis (batuk
produksi sputum). Keterbatasan aliran udara ringan (VEP1 / KVP <
70%; VEP1 > 80% Prediksi). Pada derajat ini, orang tersebut
mungkin tidak menyadari bahwa fungsi parunya abnormal.
2. Derajat II: COPD sedang
Semakin memburuknya hambatan
aliran udara (VEP1 / KVP < 70%; 50% < VEP1 <
80%), disertai dengan adanya pemendekan dalam bernafas. Dalam tingkat ini
pasien biasanya mulai mencari pengobatan oleh karena sesak nafas yang
dialaminya.
3. Derajat III: COPD berat
Ditandai dengan keterbatasan /
hambatan aliran udara yang semakin memburuk (VEP1 / KVP < 70%;
30% VEP1 < 50% prediksi). Terjadi sesak nafas yang semakin
memberat, penurunan kapasitas latihan dan eksaserbasi yang berulang yang
berdampak pada kualitas hidup pasien.
4. Derajat IV: COPD sangat berat
Keterbatasan / hambatan aliran
udara yang berat (VEP1 / KVP < 70%; VEP1 < 30%
prediksi) atau VEP1 < 50% prediksi ditambah dengan adanya gagal
nafas kronik dan gagal jantung kanan.
G. Penatalaksanaan Medis
1. Tata laksana PPOK stabil
a. Terapi farmakologis
1) Bronkodilator
a) Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak
tersedia / tak terjangkau
b) Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila
diperlukan (gejala intermitten)
c) golongan :
- Agonis -
fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol
- Antikolinergik: ipratropium bromid,
oksitroprium bromid
- Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila
kombinasi
steroid belum
memuaskan
d) Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada
meningkatkan dosis bronkodilator
monoterapi
2) Steroid
a) PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid
b) PPOK dengan VEP1 < 50% prediksi
(derajat III dan IV)
c) Eksaserbasi akut
3) Obat-obat tambahan lain
a) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) :
ambroksol, karbosistein,
gliserol iodida
- Antioksidan : N-Asetil-sistein
- Imunoregulator
(imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin
- Antitusif
: tidak rutin
- Vaksinasi
: influenza, pneumokokus
b. Terapi non farmakologis
1) Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance,
latihan pernapasan, rehabilitasi psikososial
2) Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam
sehari): pada PPOK derajat IV, AGD.
a) PaO2 < 55 mmHg, atau SO2
< 88% dengan atau tanpa hiperkapnia
b) PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2
< 88% disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena gagal jantung,
polisitemia.
Pada pasien PPOK,
harus di ingat, bahwa pemberian oksigen harus dipantau secara ketat. Oleh
karena, pada pasien PPOK terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi kemoreseptor-kemoreseptor
central yang dalam keadaan normal berespons terhadap karbon dioksida. Maka yang
menyebabkan pasien terus bernapas adalah rendahnya konsentrasi oksigen di dalam
darah arteri yang terus merangsang kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang
relatif kurang peka. Kemoreseptor perifer ini hanya aktif melepaskan muatan
apabila PO2 lebih dari 50 mmHg, maka dorongan untuk bernapas yang
tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK biasanya memiliki kadar oksigen yang
sangat rendah dan tidak dapat diberi terapi dengan oksigen tinggi. Hal ini
sangat mempengaruhi koalitas hidup. Ventimask adalah cara paling efektif untuk
memberikan oksigen pada pasien PPOK.
3) Nutrisi
4) Pembedahan: pada PPOK berat, (bila dapat
memperbaiki fungís paru atau gerakan mekanik paru)
KOMPLIKASI
1. Bronchitis kronik
a. Definisi
- Bronchitis
kronik adalah suatu peradangan bronkhiolus, bronkus dan trakea oleh berbagai
sebab. Biasnaya disebabkan oleh virus dan bakteri.(arif muttaqin,2008)
- Bronchitis
kronik didefinisikan sebagai adanya batuk produktif yang berlangsung 3 bulan
dalam satu tahun selama 2 tahun berturut-turut.penyebabnya adalah merokok dan
pemajan terhadap polusi. (brunner&suddarth,1997)
b. Etiologi
1) Merokok
2) Polusi udara yang terus menerus
polusi memperlambat aktivitas
silia dan fagositosis. Zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan bronkitis
adalah O2, N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon
3) Defisiensi-1 antitripsin adalah gangguan
resesif yang terjadi pada sekitar 5% pasien emfisema (dan sekitar 20% dari
kolestasis neonatorum) karena protein alfa-1 antitripsin ini memegang peranan
penting dalam mencegah kerusakan alveoli oleh neutrofil elastase
4) Riwayat infeksi saluran nafas
Infeksi saluran
pernapasan bagian atas pada penderita bronkitis hampir selalu menyebabkan
infeksi paru bagian bawah, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah.
5) Virus, bakteri (Haemophilus
influenzae, Streptococcus pneumoniae) dan organism lain seperti Mycoplasma pneumoniae
c. Patofisiologi
Pada bronkitis terjadi
penyempitan saluran pernapasan. Penyempitan ini dapat menyebabkan obstruksi
jalan napas dan menimbulkan sesak. Pada bronkitis kronik, disebabkan karena
perubahan pada saluran pernapasan kecil, yang diameternya kurang dari 2 mm,
menjadi lebih sempit, berkelok-kelok dan kadang-kadang terjadi obliterasi.
Penyempitan lumen terjadi juga oleh metaplasia sel goblet. Saluran pernapasan
besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus. Pada
penderita bronkitis saat terjadi ekspirasi maksimal, saluran pernapasan bagian
bawah paru akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Hal ini akan
mengakibatkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang, sehingga penyebaran
udara pernapasan maupun aliran darah ke alveoli tidak merata. Timbul hipoksia
dan sesak napas. Lebih jauh lagi hipoksia alveoli menyebabkan vasokonstriksi
pembuluh darah paru dan polisitemia. Terjadi hipertensi pulmonal yang dalam
jangka lama dapat menimbulkan kor pulmonal
d. Manifestasi klinik
1) Batuk
berdahak.
Batuk biasanya
merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya pasien mengalami batuk
produktif di pagi hari dan tidak berdahak, tetapi 1-2 hari kemudian akan
mengeluarkan dahak berwarna putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen
atau mukopurulen.
2) Sesak nafas
Bila timbul infeksi,
sesak napas semakin lama semakin hebat. Terutama pada musim dimana udara dingin
dan berkabut.
3) Sering
menderita infeksi pernafasan (misalnya flu).
4) Wheezing
(mengi). Saluran napas menyempit dan selama bertahun-tahun terjadi sesak
progresif lambat disertai mengi yang semakin hebat pada episode infeksi
akut
5) Pembengkakan
pergelangan kaki dan tungkai kiri dan kanan.
6) Wajah,
telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna kemerahan.
Bronkitis infeksiosa seringkali
dimulai dengan gejala seperti pilek, yaitu hidung meler, lelah, menggigil,
sakit punggung, sakit otot, demam ringan dan nyeri tenggorokan. Pada bronkitis
berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi demam tinggi
selama 3-5 hari dan batuk bisa menetap selama beberapa minggu
e. Diagnosis
1) Anamnesis :
riwayat penyakit yang ditandai tiga gejala klinis utama (batuk, sputum, sesak)
dan faktor-faktor penyebabnya.
2) Pemeriksaan
fisik.
3) Bila ada
keluhan sesak, akan terdengar ronki pada waktu ekspirasi maupun inspirasi
disertai bising mengi.
4) Pasien
biasanya tampak kurus dengan barrel-shape chest (diameter
anteroposterior dada meningkat).
5) Iga lebih
horizontal dan sudut subkostal bertambah.
6) Perkusi dada
hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah, pekak
jantung berkurang.
7) Pada
pembesaran jantung kanan, akan terlihat pulsasi di dada kiri bawah di pinggir
sternum.
8) Pada kor
pulmonal terdapat tanda-tanda payah jantung kanan dengan peninggian tekanan
vena, hepatomegali, refluks hepato jugular dan edema kaki.
f. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan
radiologi.
2) Ada hal yang
perlu diperhatikan yaitu adanya tubular shadow berupa bayangan
garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru
yang bertambah.
3) Pemeriksaan
fungsi paru.
4) Terdapat VEP1
dan KV yang menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal. Sedang KRF sedikit
naik atau normal. Diagnosis ini dapat ditegakkan dengan spirometri, yang
menunjukkan (VEP) volume ekspirasi paksa dalam 1 detik < 80% dari nilai yang
diperkirakan, dan rasio VEP1 : KVP <70% (Rubenstein, et al.,
2007).
5) Pemeriksaan
gas darah.
6) Penderita
bronkitis kronik tidak dapat mempertahankan ventilasi dengan baik sehingga PaCO2
naik dan PO2 turun, saturasi hemoglobin menurun dan timbul sianosis,
terjadi juga vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoeisis.
7) Pemeriksaan
EKG.
8) Pemeriksaan ini mencatat ada tidaknya serta
perkembangan kor pulmonal (hipertrofi atrium dan ventrikel kanan)
9) Pemeriksaan laboratorium
g. Penatalaksanaan medis
Tujuan pengobatan adalah menjaga agar bronkhiolus
tetap terbuka dan berfungsi, untuk memudahkan pembuangan sekresi bronchial dan
mencegah infeksi.
1) Pemberian antibiotic berdasarkan hasil pemeriksaan kultur dan
sensitifitas
2) Terapi oksigen
3) Fisisoterapi untuk mengeluarkan sputum
4) Bronkodilator: menghilangkan
bronkospasme dan mnegurangi obstruksi jalan nafas
2. Empisema
a. Definisi
- Emfisema
paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan adanya kondisi
klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal bronkhiolus terminal dan
disertai dengan kerusakan dinding alveoli.( arif muttaqin, 2008)
- Empisema
adalah kolapsnya saluran pernapasan halus dan rusaknya dinding alveolus yang
disebabkan oleh asap rokok, udara polusi dan allergen. Ini terjadi penyempitan
saluran nafas akibat edematosik dan peningkatan produksi mucus yang kental
b. Etiologi
1) Merokok
2) Keturunan
3) Infeksi
4) Hipotesis elastase-antielatase
c. Patofisiologi
Pada emfisema, beberapa factor penyebab obstruksi
jalan nafas yaitu: inflamasi dan pembengkakan bronki, produksi lender yang
berlebihan, kehilangan recoil elastic jalan napas, dan kolaps bronkiolus serta
redistribusi udara kealveoli yang berfungsi.Karena dinding alveoli mengalami
kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsungdengan kapiler paru
secara kontinu berkurang, menyebabkan peningkatan ruang rugi ( area paru dimana
tidak ada pertukaran gas yang dapat terjadi) dan megakibatkan kerusakan difusi
oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir
penyakit, eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan, mengakibatkan
peningkatan tekanan karbondioksida dalam darah arteri (hiperkapnia) dan
menyebabkan asidosis respiratorius.
Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan,
jarring-jaring kalpiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan
ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam
arteri pulmonal. Dengan demikian , gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal)
adalah salah satu komplikasi emfisema. Sekres meningkat dan tertahan
menyebabkan individu tidak mampu untuk membangkitka batuk yang kuat untuk mengeluarkan
sekresi. Infeksi akut dan kronis dengan demikian menetap dalam paru-paru yang
mengalami emfisema dan memperberat masalah.
Individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik
(ditandai dengan peningkatan tahanan jalan napas) kealiran masuk dan aliran
keluar dari paru-paru. Paru-paru dalam keadaan hiperekspansi kronik. Untuk
mengalirkan udara keluar dan kedalam paru-paru, dibutuhkan tekanan negative
selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat yang adekuat harus dicapai
dan dipertahankan selama ekspirasi.Ekspirasi menjadi aktif dan membutuhkan
upaya otot-otot. Sesak nafas pasien terus meningkat, dada menjadi kaku dn
iga-iga terfiksasi persendiannya. Dada seperti tong (Barrel chest) pada banyak
pasien ini terjadi akibat kehilangan elastisitas paru karena kecenderungan yang berkelanjutan dari
dinding dada untuk mengembang.
d. Manifestasi
klinik
1) Dispnea
adalah gejala utama emfisema. Pada inspeksi pasien terlihat barrel chest akibat
udara terperangkap, penipisan masa otot.
2) Mengi saat
ekspirasi
3) Anoreksia,
penurunan berat badan dan kelemahan
e. Pemeriksaan
dignostik
1) Rontgen
dada: hiperinflasi paru, pendataran diafragma
2) Uji fungsi
paru: volume residual meningkat
3) AGD: PaO2
menurun, PaCo2 meningkat atau normal, pH normal atau asidosis
4) Kimia darah:
pemeriksaan antitripsin-1
3. Asma bronchial
1. Definisi
- Asma bronkhial adalah penyakit jalan nafas
obstruktif intermitten, reversible dimana trakeobronkial berespon secara
hiperaktif terhadap stimuli tertentu (brunner&suddarth,1997)
- Asma adalah suatu penyakit dengan ciri
meningkatnya respon trakea dan bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan
manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat
berubah-ubah secara spontan maupun dengan hasil pengobatan. (arif muttaqin,
2008)
2. Klasifikasi
Ada tiga tipe asma berdasarkan penyebabnya:
a. Asma intrinsic
Ditandai dengan reaksi alergik
yang disebabkan oleh faktor faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk
bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic dan aspirin) dan spora jamur.
Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada faktor-faktor pencetus spesifik
seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi serangan asma ekstrinsik
b. Asma ekstrinsik
Ditandai dengan adanya reaksi non
alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang
tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini
menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema.
c. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum.
Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
3. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos
bronkhiolus yang menyebabkan sukar bernafas. Penyebab yang umum adalah
hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi yang
timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai berikut :
seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody
Ig E abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi
bila reaksi dengan antigen spesifikasinya. Pada asma, antibody ini terutama melekat
pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat dengan
brokhiolus dan bronkhus kecil.
Bila seseorang menghirup alergen maka antibody Ig E
orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan antibodi yang telah terlekat
pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan mengeluarkan berbagai macam zat,
diantaranya histamin, zat anafilaksis yang bereaksi lambat (yang merupakan
leukotrient), faktor kemotaktik eosinofilik dan bradikinin. Efek gabungan dari
semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema lokal pada dinding bronkhioulus
kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot
polos bronkhiolus sehingga menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat
meningkat. Pada asma , diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi
daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi
paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat
sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan
obstruksi berat terutama selama ekspirasi. Pada penderita asma biasanya dapat
melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi sekali-kali melakukan
ekspirasi. Hal ini menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume
residu paru menjadi sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran
mengeluarkan udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
4. Manifestasi
klinik
Biasanya pada
penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada
saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan
menyangga ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan
keras. Gejala klasik dari asma bronkial ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing
), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada.
Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan. Pada serangan asma yang
lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent
chest, sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan
pernafasan cepat dangkal . Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.
5. Pemeriksaan
laboratorium
a. AGD
b. Sputum
c. Sel
eosinofil
d. Pemeriksaan
darah rutin dan kimia
6. Penatalaksaan
medis
a. Pengobatan
non farmakologi
- Penyuluhan
- Menghindari
faktor pencetus
- fisioterapi
b. Pengobatan
farmakologi
- Agonis beta
- Metilxantin
- Kortikosteroid
- Kromolin
dan atroven
G. Penatalaksanaan Medis
1. Tata laksana PPOK stabil
a. Terapi farmakologis
1) Bronkodilator
a) Secara inhalasi (MDI), kecuali preparat tak
tersedia / tak terjangkau
b) Rutin (bila gejala menetap) atau hanya bila
diperlukan (gejala intermitten)
c) golongan :
- Agonis -
fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol
- Antikolinergik: ipratropium bromid,
oksitroprium bromid
- Metilxantin: teofilin lepas lambat, bila
kombinasi
steroid belum
memuaskan
d) Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada
meningkatkan dosis bronkodilator
monoterapi
2) Steroid
a) PPOK yang menunjukkan respon pada uji steroid
b) PPOK dengan VEP1 < 50% prediksi
(derajat III dan IV)
c) Eksaserbasi akut
3) Obat-obat tambahan lain
a) Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) :
ambroksol, karbosistein,
gliserol iodida
- Antioksidan : N-Asetil-sistein
- Imunoregulator
(imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin
- Antitusif
: tidak rutin
- Vaksinasi
: influenza, pneumokokus
b. Terapi non farmakologis
1) Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance,
latihan pernapasan, rehabilitasi psikososial
2) Terapi oksigen jangka panjang (>15 jam
sehari): pada PPOK derajat IV, AGD.
a) PaO2 < 55 mmHg, atau SO2
< 88% dengan atau tanpa hiperkapnia
b) PaO2 55-60 mmHg, atau SaO2
< 88% disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena gagal jantung,
polisitemia.
Pada pasien PPOK,
harus di ingat, bahwa pemberian oksigen harus dipantau secara ketat. Oleh
karena, pada pasien PPOK terjadi hiperkapnia kronik yang menyebabkan adaptasi
kemoreseptor-kemoreseptor central yang dalam keadaan normal berespons terhadap
karbon dioksida. Maka yang menyebabkan pasien terus bernapas adalah rendahnya
konsentrasi oksigen di dalam darah arteri yang terus merangsang
kemoreseptor-kemoreseptor perifer yang relatif kurang peka. Kemoreseptor
perifer ini hanya aktif melepaskan muatan apabila PO2 lebih dari 50
mmHg, maka dorongan untuk bernapas yang tersisa ini akan hilang. Pengidap PPOK
biasanya memiliki kadar oksigen yang sangat rendah dan tidak dapat diberi
terapi dengan oksigen tinggi. Hal ini sangat mempengaruhi koalitas hidup.
Ventimask adalah cara paling efektif untuk memberikan oksigen pada pasien PPOK.
3) Nutrisi
4) Pembedahan: pada PPOK berat, (bila dapat
memperbaiki fungís paru atau gerakan mekanik paru)
2. Tata laksana PPOK berdasarkan derajat
DERAJAT
|
KARAKTERISTIK
|
REKOMENDASI
PENGOBATAN
|
|
Semua derajat
|
|
Hindari faktor pencetus
Vaksinasi influenza
|
|
Derajat I (PPOK Ringan)
|
VEP1 /
KVP < 70 %
VEP1
80% Prediksi
|
a.Bronkodilator
kerja singkat (SABA, antikolinergik kerja pendek) bila perlu
b.Pemberian
antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
|
|
Derajat II
(PPOK sedang)
|
VEP1 /
KVP < 70 %
50% VEP1 80% Prediksi dengan atau tanpa gejala
|
1. Pengobatan
reguler dengan bronkodilator:
a. Antikolinergik kerja lama
sebagai terapi pemeliharaan
b. LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
|
Kortikosteroid
inhalasi bila uji steroid positif
|
Derajat III
(PPOK Berat)
|
VEP1 /
KVP < 70%;
30% VEP 1 50% prediksi Dengan atau tanpa gejala
|
1. Pengobatan
reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator:
a. Antikolinergik kerja lama sebagai
terapi pemeliharaan
b.LABA
c. Simptomatik
2. Rehabilitasi
|
Kortikosteroid
inhalasi bila uji steroid positif atau eksaserbasi berulang
|
Derajat IV
(PPOK sangat berat)
|
VEP1 /
KVP < 70%; VEP1 < 30% prediksi atau gagal nafas atau gagal
jantung kanan
|
1.Pengobatan
reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator:
a.Antikolinergik kerja lama sebagai terapi
pemeliharaan
b.LABA
c. Pengobatan komplikasi
d. Kortikosteroid inhalasi bila
memberikan respons klinis atau eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi
3.Terapi oksigen
jangka panjang bila gagal nafas
pertimbangkan
terapi bedah
|
3. Tata laksana PPOK eksaserbasi
Penatalaksanaan PPOK
eksaserbasi akut di rujmah : bronkodilator seperti pada PPOK stabil, dosis 4-6
kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 ahri. Bila
infeksi: diberikan antibiotika spektrum luas (termasuk S.pneumonie, H
influenzae, M catarrhalis).
Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit:
a. Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul
nasal atau venturi mask
b. Bronkodilator: inhalasi agonis 2 (dosis
& frekwensi ditingkatkan) + antikolinergik. Pada eksaserbasi akut berat: +
aminofilin (0,5 mg/kgBB/jam)
c. Steroid: prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14
hari.
Steroid intravena: pada keadaan
berat
Antibiotika terhadap S
pneumonie, H influenza, M catarrhalis.
d. Ventilasi mekanik pada: gagal akut atau
kronik
Indikasi rawat inap :
a. Eksaserbasi sedang dan berat
b. Terdapat komplikasi
c. Infeksi saluran napas berat
d. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
e. Gagal jantung kanan
Indikasi rawat ICU :
Sesak berat setelah penanganan
adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat.
a. Kesadaran menurun, letargi, atau kelemahan
otot-otot respirasi
b. Setelah pemberian oksigen tetapi terjadi
hipoksemia atau perburukan PaO2 > 50 mmHg memerlukan ventilasi
mekanik (invasif atau non invasif)
H. Asuhan Keperawatan
Kasus :
Ny. H masuk ke instalasi rawat inap suatu Rumah
Sakit swata dengan keluhan batuk dengan sputum putih (mukoid), sesak nafas
(takipnea). Dilakukan pemeriksaan fisik dengan hasil: pernapasan pursed lis,
dada emfisemtous (barrel chest), pelebaran sela costae, hipertrofi otot bantu
pernapasan, bunyi nafas veskuler tapi melemah, ekspirasi memanjang, bunyi
jantung menjauh, terdapat ronkhi dan wheezing, tampilan fisiknya pink puffer,
Ny. H mengatakan punya penyakit asma dan pernah didiagnosa dokter menderita
bronkitis kronis lebih kurang satu tahun yang lalu.
Data subyektif
|
Data obyektif
|
1.
Klien mengeluh batuk
2.
Klien mengeluh sesak nafas
|
1.
Adanya sputum putih
2.
Pernafasan pursid lis
3.
Dada emfisemtous
4.
Pelebaran sela iga
5.
Hipertrofi otot bantu nafas
6.
Napas vesikuler tapi lemah
7.
Ekspirasi memanjang
8.
Bunyi jantujng menjauh
9.
Terdapat ronkhi dan wheezing
10.
Fisik pink puffer
|
Data yang perlu di kaji
Data subyektif
|
Data obyektif
|
3.
Kemungkinan klien mengeluh banyak dahak
4.
Kemungkinan klien mengeluh nafas cepat dan
dangkal
|
11.
Kemungkinan di temukan TTV:
- RR : 26 kali/menit - HR : 96 kali/menit
12.
Kemungkinan di temukan menggunakan otot bantu
pernafasan
13.
Kemungkinan di temukan sianosis
14.
Kemungkinan akral dingin
|
B. ANALISA DATA
DATA
|
PROBLEM
|
ETIOLOGI
|
Ds : 3
Do : 1, 2, 3, 4, 5, 9, 12
|
bersihan jalan nafas tidak
efektif
|
penumpukan secret
|
Ds : 2, 4
Do : 5, 11
|
Pola nafas tidak efektif
|
Obstruksi trachea
|
Ds : 2
Do : 8, 9, 10, 13, 14
|
Gangguan pertukaran gas
|
penumpukan cairan dalam alveoli
|
Ds : -
Do : 10, 13, 14
|
Risiko gangguan perfusi jaringan
|
Gangguan pertukaran gas
|
C. DIAGNOSA
NO
|
Tgl di temukan
|
Diagnosa
|
1
|
23 0kt 2012
|
bersihan jalan nafas tidak
efektif b.d adanya penumpukan secret
|
2
|
23 0kt 2012
|
Pola nafas tidak efektif b.d
obstruksi trachea
|
3
|
23 0kt 2012
|
Gangguan pertukaran gas b.d
penumpukan cairan dalam rongga alveoli
|
4
|
23 0kt 2012
|
Risiko gangguan perfusi
jaringan b.d gangguan pertukaran gas
|
D. INTERVENSI KEPERWATAN
NO. Dx
|
Tujuan dan criteria hasil
|
Inytervensi dan rasional
|
1.
|
Setelah di lakukan tindakan
keperwatan selama 3 X 24 jam di harapkan masalah keperwatan klien teratasi,
di tandai dengan:
1.
Klien tidak mengeluh sesak
2.
Klien tidak mengeluh adanya dahak
3.
Bersihan jalan nafas kembali efektif
|
Mandiri:
1. Auskultasi bunyi nafas dan catat hasil auskultasi rasional: mengetahui keadaan kebersihan jalan nafas
2.
Kaji atau pantau frekuensi pernafasan
rasional: frekuensi pernafasan adalah sebagai indicator adanya obstruksi
3.
Berikan posisi nyaman untuk klien
rasional: peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernafasan atau memaksimalkan ekspansi paru
4.
Pertahankan polusi linngkungan minimum
rasional: polusi adalah pencetus reaksi alergi
5.
Bantu latihan nafas bibir
rasional: memberikan pasien beberapa cara untuk mengatasi dan mengontrol dispnea
Kolaborasi
1. Berikan obat sesuai indikasi (bronchodilator, antimikrobakterial, analgesic) rasional: merilekan otot halus, menurunkan edema mukosa dan spasme otot polos
2. bantu pengobatan pernafasan
(fisioterafi dada)
rasional : membantu klien mampu untuk mengeluarkan secret
3. berikan oksigen sesuai
indikasi
rasional: membantu memenuhi kebutuhan oksigenasi |
2
|
Setelah di lakukan tindakan
keperwatan selama 3 X 24 jam di harapkan masalah keperwatan klien teratasi,
di tandai dengan:
1. Klien tidak lagi mengeluh sesak
nafas
2. Nafas normal (vesikuler dan
kuat)
|
Mandiri
1. Kaji frekuensi, kedalaman
pernafasan dan ekspansi dada. Catat upaya pernafasan, termasuk penggunaan
otot bantu pernafasan
rasional: ekspansi dada menandakan upaya klien untuk memenuhi kebutuhan pernafasan
2. Auskultasi bunyi nafas dan
catat adanya bunyi nafas
rasional: bunyi nfasa menurun/melemah saat terjadi obstruksi
3. Atur posisi semi fowler untuk
klien
rasional: member rasa nyaman dan memaksimalkan ekspansi paru
4. Ajarkan klien untuk nafas dalam
dan batuk efektif
rasional: meminimalkan obstruksi saluran pernafasan
5. Bantu klien mengatasi
takut/ansietas
rasional: perasaan takut akan ketidakmampuan bernafas akan meningkatkan konsumsi oksigen
Kolaborasi
1. Berikan oksigen tambahan sesuai
indikasi
rasional: memenuhi kebutuhan oksigen dan menurunkan kerja nafas
2. Bantu humidifikasi tambahan
rasional : memberikan kelembaban pada membrane mukosa dan membantu pengenceran secret
3. Bantu fisioterafi dada
rasional: memudahkan pengeluaran dahak pada klien |
3
|
Setelah di lakukan tindakan
keperwatan selama 3 X 24 jam di harapkan masalah keperwatan klien teratasi,
di tandai dengan:
1.
Klien tidak mengeluh sesak
2.
Tidak terlihat menggunakan otot bantu pernafasan
3.
Tidak terdapat tanda-tanda saturasi oksigen
berkurang
|
Mandiri
1. Catat frekuensi dan kedalaman
pernafasan, penggunaan otot bantu nafas
rasional: takipnea menyertai obstruksi paru
2. Observasi fisik klien
menyeluruh
rasional: kemungkinan di temukan adanya sianosis yang menandakan adanya gangguamn pertukaran gas
3. Tinggikan kepala tempat tidur
sesuai kebutuhan klien
rasional: meningkatkan ekspansi dada maksimal, membuat mudah bernafas, meningkatkan kenyamanan
4. Awasi tanda-tanda vital
rasional: biasanya takipnea dan perubahan pada tanda vital terjadi oleh karena adanya hipoksemia dan asidodis
5. Kaji tingkat kesadaran
rasional: hipoksia sistemik dapat di tunjukan pertama kali oleh gelisah dan peka rangsang
Kolaborasi:
1.
Awasi hasil AGD klien
rasional: kadar PaO2 rendah menandakan adanya gangguan pertukaran gas
2.
Berikan oksigen dengan metode yang tepat
rasional: memaksimalkan sediaan oksigen maksimal untuk pertukaran gas |
4
|
Setelah di lakukan tindakan
keperwatan selama 3 X 24 jam di harapkan masalah keperwatan klien teratasi,
di tandai dengan:
1.
Tidak terjadi risiko gangguan perfusi jaringan
|
Mandiri
1. Auskultasi frekuensi dan irama
jantung
rasional: takikrdi sebagai akibat hipoksemia dan kompensasi peningkatan aliran darah dan perfusi jaringan
2. Observasi status mental
rasional: gelisah, disorientasi menunjukan gangguan aliran darah, hipoksia.
3. Observasi warna dan suhu kulit
rasional: kulit pucat atau sianosis menunjukan vasokontriksi perifer dan gangguan aliran darah
Kolaborasi:
1. Berikan cairan oral/IV sesuai
indikasi
rasional: peningkatan cairan di perlukan untuk menurunkan pembentukan thrombus
2. Berikan terapi oksigen sesuai
indikasi
rasioanl: maksimalkan perfusi jaringan perifer |
1. Pengkajian
Pengkajian mencakup pengumpulan
informasi tentang gejala-gejala terakhir juga manifestasi penyakit
sebelumnya.Hal yang dikaji dari pasien adalah sebagai berikut:
Aktivitas/Istirahat
Sirkulasi
Integritas ego
Makanan/Cairan
Higiene
Pernapasan
Keamanan
Seksualitas
Interaksi social
Penyuluhan dan pembelajaran
Berikut ini adalah daftar
pertanyaan yang bias digunakan sebagai pedoman untuk mendapatkan riwayat
kesehatan yang jelas dari proses penyakit :
Sudah berapa lama pasien mengalami kesulitan
bernapas ?
Apakah aktivitas meningkatkan dispnea ?
Jenis aktivitas apa ?
Berapa jauh batasan pasien terhadap toleransi
aktivitas ?
Kapan selama siang hari pasien mengeluh
paling letih dan sesak napas ?
Apakah kebiasaan makan dan tidur terpengaruh
?
Apa yang pasien ketahui tentang penyakit dan
kondisinya ?
Data tambahan dikumpulkan melalui
observasidan pemeriksaan; pertanyaan yang patut dipertimbangkan untuk
mendapatkan data lebih lanjut termasuk :
Berapa frekuensi nadi dan pernapasan pasien ?
Apakah pernapasan sama dan tanpa upaya ?
Apakah pasien mengkontraksi otot-otot abdomen
selama inspirasi ?
Apakah pasien mneggunakan otot-otot aksesori
pernapasan selama pernapasan ?
Apakah tampak sianosis ?
Apakah vena leher pasien tampak membesar ?
Apakah pasien mengalami edema perifer ?
Apakah pasien batuk ?
Apa warna, jumlah, dan konsistensi sputum
pasien ?
Bagaimana status sensorium pasien ?
Apakah terdapat peningkatan stupor ?
kegelisahan ?
2. Diagnosa
- Gangguan pertukaran gas b.d ketidaksamaan
ventilasi-perfusi.
- Bersihan jalan napas tidak efektif b.d
bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, dan
infeksi bronkopulmonal.
- Pola napas tidak efektif b.d napas pendek,
mukus, bronkokonstriksi, dan iritan jalan napas.
- Kurang perawatan diri b.d keletihan sekunder
akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi ventilasi dan oksigenasi.
- Intoleransi aktivitas b.d keletihan,
hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif
- Koping individu tidak efektif b.d kutang
sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah, ketidakmampuan untuk
3. Intervensi
Diagnosa 1: Gangguan
pertukaran gas b.d ketidaksamaan ventilasi-perfusi
Tujuan : Perbaikan dalam
pertukaran gas.
Kriteria hasil :
Klien mengungkapkan pentingnya bronkodilator
dan penggunaannya dalam jadwal yang diharuskan.
Klien menunjukkan efek samping minimal;
frekuensi jantung mendekati normal, tidak terdapatnya disritmia, fungsi mental
normal.
Klien melaporkan penurunan dispnea.
Klien menunjukkan perbaikan dalam laju aliran
ekspirasi.
Klien menggunakan dan membersihkan perlatan
terapi sesuai yang diharuskan.
Klien memperagakan pernapasan diafragmatik
dan batuk.
Klien menggunakan peralatan oksigen dengan
tepat ketika dibutuhkan.
Menunjukkan gas-gas darah arteri yang normal.
Intervensi :
1. Berikan bronkodilator sesuai yang diharuskan
:
a. Dapat diberikan per oral, intravena, atau
dengan inhalasi.
b. Berikan bronkodilator oral atau inttravena
pada waktu yang berselingan dengan tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur
untuk memperpanjang keefektifan obat.
c. Observasi efek samping : takikardia,
disritmia, eksitasi system saraf pusat, mual dan muntah.
Rasional: Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan
membantu melawan edema mukosa bronchial dan spasme muskular. Karena efek
samping biasa terjadi pada tindakan ini, dosis obat disesuaikan dengan cermat
untuk setiap pasien, sesuai dengan toleransi dan respons kinisnya.
2. Evaluasi efektifitas tindakan nebuliser,
inhaler dosis terukur.
a. Kaji penurunan sesak napas,penurunan mengi
atau krekels, kelonggaran sekresi, penuruna ansietas.
b. Pastikan bahwa tindakan diberikan sebelum
makan untuk menghindari mual dan untuk mengurangi keletihan yang menyertai
aktivitas makan.
Rasional:
Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodilator nebulisasi biasanya
digunakan untuk mengendallikan bronkokonstriksi. Pemberian tindakan yang tidak
tepat akan mengurangi keefektifannya. Aerolisasi memudahkan clearance
bronchial, membantu mengendalikan proses inflamasi, dan memperbaiki fungsi
ventilasi.
3. Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien
pada pernapasan diafragmatik dan batuk yang efektif.
Rasional: Teknik ini
memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas dan membersihkan jalan napas
dari sputum. Penukaran gas diperbaiki.
4. Berikan oksigen dengan metode yang diharuskan
:
a. Jelaskan pentingnya tindakan ini pada pasien.
b. Evaluasi efektifitas, amati tanda-tanda
hipoksia. Ingatkan dokter jika timbul gelisah, ansietas, somnolen, sianosis,
atau takikardia.
c. Analisa gas darah arteri dan bandingkan
dengan nilai-nilai dasar. Bila pungsi arteri dilakukan dan sampai darah
diambil, tekan tempat pungsi selama 5 menit untuk mencegah perdarahan arteri.
d. Lakukan oksimetri nadi untuk memantau
saturasi oksigen.
e. Jelaskan bahw atidak merokok dianjurkan pada
pasien atau pengunjung ketika oksigen digunakan.
Rasional : Oksigen akan
memperbaiki hipoksemia. Diperlukan observasi yang cermat terhadap aliran atau
persentase yang diberikan dan efeknya pada pasien. Jika pasien mengalami
retensi karbondioksida kronis, maka hipoksia dirangsang untuk bernapas.
Kelebihan oksigen dapat menekan dorongan hipoksik dan dapat terjadi kematian.
Pasien ini umumnya membutuhkan laju aliran oksigen yang rendah 1-2 l/menit. Gas
darah arteri periodik dan oksimetri nadi membantu untuk mengevaluasi
keadekuatan oksigenasi
Diagnosa 2: Bersihan
jalan napas tidak efektif b.d bronkokonstriksi, peningkatan pembentukan mukus,
batuk tidak efektif, dan infeksi bronkopulmonal.
Tujuan : Pencapaian clearance jalan napas.
Kriteria hasil :
Klien mengungkapkan pentingnya untuk minum
6-8 gelas cairan/hari.
Klien dapat memperagakan pernapasan
diafragmatik dan batuk.
Klien dapat melakukan drainase postural
dengan tepat.
Batuk klien berkurang.
Kien tidak merokok.
Kien mengungkapkan bahwa serbuk sari, asap,
gas, debu, dan suhu yang ekstrem serta kelembaban adalah iritan yang harud
dihindari.
Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda
infeksi dini.
Klien bebas dari infeksi (tidak ada demam,
tidak ada perubahan dalam sputum, mengalami dispnes lebih ringan.
Klien dapat mengungkapkan bahwa penting untuk
memberitahukan dokter saat ditemukan tanda-tanda dini infeksi.
Klien dapat mengungkapkan pentingnya untuk
menjauhi kerumunan atau individu dengan demam pada musim flu.
Kiien dapat merencanakan untuk
mendiskusikan tentang vaksinasi flu dan pneumonia dengan dokter untuk membantu
mencegah infeksi
Intervensi :
1. Beri pasien 6-8 gelas cairan per hari kecuali
terdapat kor pulmonal.
Rasional : Hidrasi sistemik
menjaga sekresi tetap lembab dan memudahkan untuk pengeluaran. Cairan harus
diberikan dengan kewaspadaan jika terdapat gagal jantung sebelah kanan.
2. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan
teknik pernapsan diafragmatik dan batuk.
Rasional : Teknik ini
akan membantu memperbaiki ventilasi dan untuk menghasilkan sekresi tanpa
menyebabkan sesak napas dan keletihan.
3. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser,
inhaler dosis terukur.
Rasional : Tindakan ini
menmabahkan air ke dalam percabangan bronkial dan apda sputum, menurunkan
kekentalannya, sehingga memudahkan evakuasi sekresi.
4. Lakukan drainase postural dengan perkusi dan
vibrasi pada pagi hari dan malam hari sesuai yang diharuskan.
Rasional : Menggunakan gaya
gravitasi untuk membantu membangkitkan sekresi sehingga sekresi dapat lebih
mudah dibatukkan atau diisap
5. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan
seperti asap rokok, aerosol, suhu yang ekstrem, dan asap.
Rasional : Iritan bronkial
menyebabkan bronkokonstriksi dan meningkatkan pembentukkan lendir, yang
kemudian mengganggu clearance jalan napas.
6. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang
harus dilaporkan pada dokter dengan segera :
a. Peningkatan sputum
b. Perubahan dalam warna sputum
c. Peningkatan kekentalan sputum
d. Peningkatan napas pendek, rasa sesak di dada,
keletihan,
e. Peningkatan batuk
Rasional : Infeksi pernapasan
minor yang tidak memberikan konsekuensi pada individu dengan paru-paru yang
normal dapat menyebabkan gangguan fatal bagi individu dengan emfisema.
Pengenalan dini amat penting.
7. Berikan antibiotik sesuai yang diharuskan.
Rasional : Antibiotik mungkin
diresepkan untuk mncegah atau mengatasi infeksi.
8. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan
imunisasi terhadap influenza dan Streptococcus pneumoniae.
Rasional : Individu dengan
kondisi pernapasan rentan terhadap infeksi dan diberikan dorongan untuk
melakukan
Diagnosa 3: Pola napas tidak
efektif b.d napas pendek, mukus, bronkokonstriksi, dan iritan jalan napas.
Tujuan : Perbaikan dalam pola
pernapasan
Kriteria hasil :
Klien dapat melatih pernapasan dirapatkan dan
diafragmatik serta menggunakannnya ketika sesak napas dan saat melakukan
aktivitas.
Klien memperlihatkan tanda-tanda penurunan
upaya bernapas dan membuat jarak dalam aktovotas.
Klien dapat menggunakan pelatihan otot-otot
inspirasi, seperti yang diharuskan, selama 10 menit setiap hari.
Intervensi :
1. Ajarkan pasien pernapasan diafragmatik dan
pernapasan bibir dirapatkan.
Rasional: Mambantu pasien
memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini, pasien akan bernapas lebih
efisien dan efektif.
2. Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas
dengan periode istirahat. Biarkan pasien membuat beberapa keputusan (mandi,
bercukur) tentang perawatannya berdasarkan pada tingkat toleransi pasien.
Rasional : Memberikan jeda
aktivitas akan memungkinkan pasien untuk melakukan aktivitas tanpa distress
berlebihan.
3. Berikan dorongan penggunaan pelatihan
otot-otot pernapasan jika diharuskan.
Rasional : Menguatkan dan
mnegkondisikan otot-otot pernapasan.
Diagnosa 4: Kurang perawatan diri
b.d keletihan sekunder akibat peningkatan upaya pernapasan dan insufisiensi
ventilasi dan oksigenasi.
Tujuan : Kemandirian dalam
aktivitas perawatan diri.
Kriteria hasil :
Klien dapat menggunakan pernapasan terkontrol
ketika mandi, membungkuk, dan berjalan.
Klien dapat membuat jarak aktivitas kehidupan sehari-hari dan
menyelinginya dengan periode istirahat untuk mengurangi keletihan dan dispnea.
Klien dapat menguraikan strategi penghematan
energi.
Klien dapat melakukan aktivitas perawatan
diri yang sama seperti sebelumnya.
Klien dapat melakukan drainase postural
dengan benar.
Klien dapat menggali sumber-sumber yang
tersedia untuk modifikasi pekerjaan.
Intervensi :
1. Ajarkan pasien untuk mengkoordinasikan
pernapasan diafragmatik dengan aktivitas (misal : berjalan, membungkuk).
Rasional : Akan memungkinkan
pasien untuk lebih aktif dan untuk menghindari keletihan yang berlebihan aatau
dispnea selama aktivitas.
2. Berikan pasien dorongan untuk mulai mandi
sendiri, berpakaian sendiri, berjalan, dan minum cairan. Bahas tentang tindakan
penghematan energi.
Rasional : Sejalan dengan teratasinya
kondisi pasien akan mampu melakukan lebih banyak namun perlu didorong untuk
menghindari peningkatan ketergantungan.
3. Ajarkan tentang drainase postural bila
memungkinkan.
Rasional : Memberikan dorongan
pada pasien untuk terlibat dalam perawatan dirinya. Membangun harga diri dan
menyiapkan pasien untuk mengatasinya di rumah.
Diagnosa 5: Intoleransi aktivitas
b.d keletihan, hipoksemia, dan pola pernapasan tidak efektif
Tujuan : Perbaikan dalam
toleransi aktivitas.
Kriteria hasil :
Klien dapat melakukan aktivitas dengan napas
pendek lebih sedikit.
Klien dapat mengungkapkan perlunya untuk
melakukan latihan setiap hari dan memperagakan rencana latihan yang akan
dilakukan di rumah.
Klien dapat berjalan dan secara bertahap
meningkatkan waktu dan jarak berjalan untuk memperbaiki kondisi fisik.
Intervensi :
1. Dukung pasien dalam menegakkan regimen
latihan teratur dengan mengguanakan treadmill dan exercise, berjalan atau
latihan lainnya yang sesuai, seperti berjalan perlahan.
a. Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan
kembangkan rencana latihan berdasarkan pada status fungsi dasar.
b. Sarankan konsultasi dengan ahli terapi fisik
untuk menentukan program latihan spesifik terhadap kemampuan pasien. Siapkan
unit oksigen portable untuk berjaga-jaga jika diperlukan selama latihan.
Rasional : Otot-otot yang
mengalami konyaminasi membutuhkan lebih banyak oksigen dan memberikan beban
tambahan pada paru-paru. Melalui latihan yang teratur, bertahap, kelompok otot
ini menjadi lebih terkondisi, dan pasien dapat melakukan lebih banyak tanpa
mengalami napas pendek. Latihan yang bertahap memutus siklus yang melemahkan
ini.
Diagnosa 6: Koping individu tidak
efektif b.d kutang sosialisasi, ansietas, depresi, tingkat aktivitas rendah,
ketidakmampuan untuk bekerja.
Tujuan : Pencapaian tingkat
koping yang optimal.
Kriteria hasil :
Klien dapat mengekspresikan minat di masa
depan.
Klien dapat ikut serta dalam rencana
pemulangan.
Klien dapat mendiskusikan aktivitas dan
metode yang dapat delakukan untuk menghilangkan sesak napas.
Klien dapat menggunakan teknik relaksasi
dengan sesuai.
Klien dapat mengekspresikan minat dalam
program rehabilitasi paru.
Intervensi :
1. Mengadopsi sikap yang penuh harapan dan
memberikan semangat yang dilakukan pada pasien.
Rasional : Suatu perasaan harapan
akan memberikan sesuatu yang dapat dikerjakan, ketimbang sikap yang merasa kalah, tidak berdaya.
2. Dorong aktivitas sampai tingkat toleransi
gejala.
Rasional : Aktivitas mengurangi
ketegangan dan mengurangi tingkat dispnea sejalan dengan pasien menjadi
terkondisi.
3. Ajarkan teknik relaksasi atau berikan rekaman
untuk relaksasi bagi pasien.
Rasional : Relaksasi mengurangi
stress dan ansietas dan membantu apsien untuk mengatasi ketidakmampuannya.
4. Daftarkan pasien pada program rehabilitasi
pulmonari bila tersedia.
Rasional : Program rehabilitasi
paru telah menunjukkan dapat meningkatkan perbaikan subjektif status dan harga
diri pasien juga meningkatkan toleransi latihan serta mengurangi
hospitaslisasi.
5. Sarankan konseling vokasional untuk menggali
kesempatan altenatif pekerjaan (jika memungkinkan).
Rasional : Modifikasi pekerjaan
mungkin harus dibuat dan sumber-sumber yang sesuai digunakan untuk mencapai
tujuan ini
4. Evaluasi
Hasil yang diharapkan :
1. Menunjukkan perbaikan pertukaran gas dengan
menggunakan bronkodilator dan terapi oksigen sesuai yang diresepkan.
a. Tidak menunjukkan tanda-tanda
kegelisahan, konfusi, atau agitasi.
b. Mempunyai nilai-nilai gas
darah arteri yang stabil.
2. Mencapai bersihan jalan napas.
a. Berhenti merokok
b. Menghindari bahan-bahan yang
merangsang dan suhu ekstrem.
c. Meningkatkan masukan cairan
hingga 6-8 gelas per hari
d. Melakukan drainase postural
dengan benar
e.Mengetahui tanda-tanda dini
infeksi dan wasapada terhadap pentingnya melaporkan tanda-tanda ini jika
terjadi.
3. Memperbaiki pola pernapasan
a. Berlatih dan menggunakan pernapasan
diafragmatis dan bibir dirapatkan.
b. Menunjukkan penurunan tanda-tanda upaya
bernapas.
4. Melakukan aktivitas perawatan diri dalam
batasan toleransi
a. Mengatur aktivitas untuk menghindari
keletihan dan dispnea.
b. Menggunakan pernapasan terkendali ketika
melakukan aktivitas.
5. Mencapai toleransi aktivitas, dan melakukan
latihan serta melakukan aktivitas dengan sesak naps lebih sedikit.
6. Mendapatkan mekanisme koping yang efektif
serta ikut serta dalam program rehabilitasi paru.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK merupakan
penyakit kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara dalam saluran
napas yang tidak sepenuhnya reversibel dan biasanya menimbulkan obstruksi.
Gangguan yang bersifat progresif (cepat dan berat) ini disebabkan karena
terjadinya Radang kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi
dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala utama sesak napas, batuk, dan
produksi sputum dan keterbatasan aktifitas.
Penyebab dari penyakit ini yaitu dari kebiasaan sehari-hari seperti
merokok, lingkungn yang tidak bersih, mempunyai penyakit saluran pernfasan,
dll. Penyakit ini tidak dapat disembuhkan secara total karena penyakit ini
merupakan penyakit komplikasi seperti asma, emphiema, bronkus kritis dll. Hanya
saja akan berkurang secara bertahap apabila rutin berkonsultasi dengan dokter,
mengubah pola hidup sehari-hari dan sering berolahraga.
DAFTAR PUSTAKA
Marilynn doenges. 1999. Rencana asuhan keperawatan. Jakarta. Egc
Aziz alimul hidayat.2008. pengantar kebutuhan dasar manusia. Jakarta. Salemba medika
Jackson marilynn.2009. clinical nursing. Erlangga
Riyanto BS, Hisyam B.2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4 Obstruksi Saluran Pernafasan Akut.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI
GOLD. Pocket Guide to COPD
Diagnosis, Management and Prevention. USA: 2007. p. 6. [serial online] 2007.
[Cited] 20 Juni 2008. Didapat dari : http://www.goldcopd.com/Guidelineitem.asp?l1=2&l2=1&intId=989
Tiada ulasan:
Catat Ulasan